Kue Ladu


Apa jajanan kesukaanmu dan wajib ada di rumahmu ketika lebaran Idul Fitri? 
Nastar? Kestangel? Kue Bawang? atau kue semprong?
Karena keluarga gue berada dalam golongan tim gurih, maka kue bawang dan kue ladu adalah jajanan favorit!

Sebentar, kamu pernah mendengar jajanan kue ladu?

Sepiring kue ladu untuk bersantai hari ini

Kue ladu, kiriman adiknya Nyokap
Bukan, bukan kue manis yang berasal dari India yang sering dimakan ketika ada acara pernikahan, bukan juga kue manis dari tepung ketan khas dari Garut. 
kue laddu khas India
sumber foto: https://www.gotravelly.com/blog/manisan-india/

Kue ladu Ketan Khas Garut
sumber foto: https://cookpad.com/id/resep/1729936-ladu-khas-garut
Tapi ini, kue ladu khas Pariaman-Sumatera Barat. Meskipun dikenal dengan sebutan "kue", seperti halnya kue bawang, kue ladu juga kriuk-kriuk gurih bikin nagih.

Jangan tanya gue, kenapa namanya kue ladu, karena gue juga belum menemukan penjelasannya meskipun dalam keluarga, gue adalah generasi paling akhir  (karena belum ada generasi lanjutan, wkwkwkkw!) yang pernah ikut serta membuat kue ladu menjelang lebaran. Gue pernah bertanya ke nyokap waktu masih muda dulu, kenapa namanya kue ladu? Nyokap hanya menjawab, "entahlah, ibu tidak pernah bertanya kepada nenek". Tapi, sebelum gue bertanya pada nyokap, gue juga pernah bertanya pada nenek, "kenapa namanya kue ladu nek?". mungkin, nyokpa mendapat contekan jawaban dari nenek, karena jawaban nyokap tak jauh berbeda dengan nenek, "Nenek tak pernah bertanya kepada ibunya nenek". See? misteri kata "kue ladu" belum terpecahkan.

Tapi, kalau gue boleh ngasal, mungkin kata kue ladu yang dimaksud juga tak jauh-jauh dari kata kue ladu yang berasal dari India. Konon katanya, kue ladu asal India itu berasal dari bahasa Sanskerta, "Ladduka" yang artinya bola-bola kecil. Memang, kue ladu India berbentuk bola kecil yang terbuat dari tepung gandum, tepung kacang panjang (eug sesungguhnya penasaran dengan tepung kacang panjang ini. mungkin biji kacang panjang yang dijadikan tepung. ah, entahlah. kalau kamu penasaran, silakan searching di gugel ya), kelapa yang dicampur dengan gula dan bahan lainnya, lalu dibentuk menjadi bola-bola kecil-ladduka.

Tapi, apakah kue ladu dari Pariaman ini berbentuk bola-bola kecil? Tidaaak!! lalu, kenapa namanya ladu? Udah ah, jangan tanya kenapa lagi.

Ah ya, mungkin karena dalam proses pembuatannya, adonan ladu ini juga dibentuk menjadi bola-bola kecil yang kemudian di pipihkan sebelum digoreng. Ya, bisa jadi! Sudahlah, kita sepakati saja awal mula kata kue ladu memang seperti itu. Bagaimana?

Sejauh ingatan masa kecil, gue udah belajar membuat kue ladu ini sejak masih duduk di bangku SD. Menjadi anak perempuan paling tua di keluarga, memberikan kesempatan yang "lebih banyak" untuk belajar dan mengetahui segala hal yang berbau masak memasak dan urusan dapur lainnya, termasuk belajar membuat kue ladu.

Dulu, iya dulu! ketika masih bocah, ketika bocah-bocah seumuran gue bisa bermain sepulang shalat shubuh, jalan pagi bersama teman-teman, maka gue sudah berada di dapur bersama bokap dan nenek gue untuk membuat kue ladu.

Kue ladu ini enak! yang gak enak itu proses pembuatannya. Haha! butuh proses yang panjang. Gue masih ingat, bagaimana panjangnya proses pembuatan kue ladu terhitung sedari shubuh, dengan mata yang terkantuk-kantuk baru akan selesai ketika zuhur berkumandang. Itu juga kalau ada bala bantuan. ketika saudara-saudara gue bisa diajak berkomporomi untuk keroyokan membuat ladu. Kalau lagi apes, gue pasrah berada seharian di dapur! Hiks.

Kue ladu yang menjadi makanan wajib setiap lebaran ini pensiun ketika usaha penggilingan tepung bokap gue gulung tikar. Pasalnya, karena untuk membuat kue ladu, kita membutuhkan tepung beras yang masih baru. Fresh from the mesin penggilingan. Di jaman gue masih udah mendingan, karena di jaman emak gue, membuat kue ladu butuh usaha yang lebih besar. tak ada mesin penggiling, maka untuk menghasilkan tepung yang masih baru, kamu harus menumbuk beras menggunakan Lumpang Alu penumbuk beras. Kebayang ribetnya? Ya, kalau setengah kilo gapapa lah ya, tapi kalau buatnya minimal 2 kg, wasalam deh! bisa nangis bombay, dan trauma sama ladu karena tangan yang makin berotot. hahaha! gue bersyukur di jaman mengenal kue ladu, mesin penggiling beras sudah ada, dan beruntungnya lagi, bokap gue punya!

Sebelum digiling menjadi tepung, beras direndam dulu semalaman, terus dikeringanginkan, baru deh digiling. Sesaat setelah beras menjadi tepung, kita gak bisa nyantai-nyantai dulu, tapi langsung hidupkan kompor dan didihkan air. Tepung yang masih fresh tadi itu, di kepal-kepal langsung di masukin ke air yang sudah mendidih. Tunggu sebentar, sampai kepalan si tepung itu ngapung, trus angkat, taruh di wadah. selanjutnya, hancurkan kepalan tepung yang sudah direbus tadi, dan gak boleh berlama-lama, harus cepat. setelah hancur, masukin mentega, garam dan telur sesuai takarannya, adon sampai kalis pakai tangan! Kebayang gimana kebalnya tangan ngadon adonan yang baru saja turun dari kompor?

Si tepung harus dikepal, biar gak bubar jadi bubur ketika dimasukin kedalam air yang mendidih. Dan memang harus dimasukin ke air mendidih, biar tepungnya masak tapi gak jadi bubur. Jadi, begitulah kira-kira alasannya. Ribet? belum selesai genk!

Setelah adonannya kalis, adonan bisa langsung dibentuk menjadi bulat-bulat kecil, yang kemudian akan dipipihkan dengan cetakan. Keluarga eug, menggunakan cetakan kue semprong, biar prosesnya bisa dipercepat. sekali cetak bisa 4 atau 5 bola daripada harus menggunakan cetakan dari daun pinang, yang sekali cetak cuma bisa satu bola, dan lebih ribet lagi. Ngomong-ngomong cetakan menggunakan daun pinang ini, kue ladu juga dikenal dengan kue arai pinang.

Setelah dicetak, baru deh di goreng sampai garing kekuningan, dan barulah kue ladu bisa dinikmati ketika lebaran. 

Oia, catatan penting lainnya dalam membuat kue ladu, adonannya gak boleh masuk angin! kalau adonan dibiarkan di tempat terbuka dan terkena angin, maka adonan akan menjadi keras, dan jika dicetak akan pecah, tidak bagus, dan tentu saja ada yang mengomel, nyokap dan nenek. Haha!

Kue ladu, kue legendaris dengan proses panjang yang gurih!

Pembuatan kue ladu di rumah memang pensiun, tapi cerita dan rasanya tak pernah pensiun! Sesekali, ada saja kiriman kue ladu dari kampung, atau dari adik nyokap. Meski jumlahnya tak sebanyak dulu, tapi lumayan untuk mengobati rasa rindu.

ah, gue jadi ingat, kue ini menjadi oleh-oleh yang gue bawa juga ketika balik ke kota hujan, selain rendang!

Bagi anak kosan, membawa jajanan dari rumah adalah berkah untuk dompet. hehe!

Ini ceritaku, bagaimana ceritamu?

Pekanbaru, 
06 Juni 2019



Kepingan Lombok #1


Kepingan ini random. Saya menulis yang saya ingat dan sesuai keinginan hati. Hehe!

"Bagaimana rasanya lebaran Idul Adha di kampung orang?"

Itu pertanyaan pertama ketika saya menginjakkan kaki di Lombok tahun 2017 lalu. Karena saya tiba di Lombok tepat dua hari sebelum Idul Adha.

Rasanya? seperti rasa coklat, vanila, stoberi, melon, atau durian? Rasa "biasa" sepertinya tidak mau diterima oleh orang-orang. Haha! tapi begitulah yang saya rasakan. Biasa saja, tidak senang, tidak sedih. Biasa. Lebaran Idul Adha di kampung orang sudah sering saya alami. Pastinya selalu berbeda.

Ketika hidup di Bogor, Idul Adha sering saya habiskan di rumah keluarga. Menghabiskan waktu untuk menonton kartun sepanjang hari, bakar sate sampai begah, atau bermain dengan para kurcaci-kurcaci yang sekarang udah jadi raksasa SMA dan mahasiswa.

Lepas kuliah, saya lebih sering menghabiskan waktu di Bogor bersama teman-teman. Ada aja ide untuk menghabiskan waktu. Mulai dari ngumpulin duit buat potong kambing bareng-bareng, jalan-jalan, masak-masak atau sekedar malas-malasan di kosan bersama gadis-gadis yang sekarang udah jadi ibu-ibu.

Pergi dari Bogor, Idul Adha bisa dimana aja, tergantung saat itu sedang berada dimana. Bisa di pelosok Jawa atau pelosok Sumatera. Lebaran Idul Adha di pelosok juga tidak jauh berbeda dengan lebaran di kosan. Menghabiskan hari di kamar kosan memegang gadget, tanpa rendang. Tidak tertarik untuk melihat pemotongan sapi atau kambing. Kadang, dapat rejeki anak sholehah, daging yang belum diolah dari tetangga.

Pernah sekali, lebaran di pelosok Sumatera Barat. Saya dan teman-teman tidak mengira kalau di hari lebaran semua warung makan tutup. Kita yang sedang kere tidak membeli stok makanan. dan tidak mungkin belanja ke kota karena butuh waktu dua jam perjalanan. Alhasil, kita manyun di ruang tamu sambil nonto ftv sebelum bersilaturahmi ke tetangga. setelah bersilaturahmi, yeay! akhirnya, bisa makan rendang dan sate. Hahah!

Terus, lebaran di Lombok gimana?

Gimana ya? haha

Sebenarnya sempat cengok  dan galau juga sih. hehe!

Pertama, jika di Bogor atau di pelosok daerah, saya menghabiskan waktu bersama teman-teman yang sudah saya kenal lama, atau kalau teman baru kenal, biasanya adalah teman senasib sepenanggungan, sesama perantau, jauh dari rumah. Tapi tidak ketika di Lombok, saya menghabiskan bersama teman-teman baru akamsi-anak kampung sini, yang punya rumah dan keluarga masing-masing. dan saya masih beradaptasi. Masih jaim-jaiman, masih canggung, cuma bisa nyengir kuda doang.

Oke, saya kenal mereka udah dari acara Bangsal Menggawe 2017 bulan Maret lalu, tapi cuma sebatas hai hehe aja. Belum ada kegiatan lebih lanjut. Tidak menarik.

Dan? cuma dalam dua hari haha hihi hehe tidak jelas, saya berlebaran bersama mereka. Bisa dikatakan biasa aja gak padahal canggung juga. Huahahaha. Bingung mau ngapain, ditambah bahasa planet yang belum terbiasa di telinga.  Tapi gak masalah, makan tetap lanjut, dan duduk santai dengan dituding beberapa pertanyaan sebagai orang baru, tetap dilaksanakan. Haha! Karena mau minta pulang juga hal yang tidak mungkin. Haha!

Jangan tanya makanannya apa aja, yang jelas enak. Masalah rasa tidak jauh berbeda dengan makanan di rumah. Ada rendang (namanya di Lombok bukan rendang sih, saya lupa nanya. atau sudah nanya, terus saya lupa, hehe, maapkan), ada kacang asin (kalau di sumatera barat, namanya kacang tojin). Nah, yang baru itu kacang kedelai hitam yang dijadiin sayur. Yang itu hampir selalu ada di setiap acara roahan, kapanpun dimanapun, asal masih di Lombok. Adalagi poteng. Poteng ini sejenis lamang tapai. Bedanya, kalau lamang itu ketan yang dibakar di dalam bambu, kalau poteng itu ada ketan yang ditumbuk, di Jawa barat lebih dikenal dengan Uli. Tapai itu ketan hitam yang di fermentasi, kalau poteng itu ketan hijau yang di fermentasi. Hijaunya ketan dari daun suji atau daun pandan.

Setelah puas makan-makan, cerita sana sini dengan keluarga super duper baru, saya ditinggal. Ihik!

Karena keluarga super duper baru itu juga memiliki keluarga-keluarga lain yang tersebar di Lombok. Akhirnya, saya menghabiskan sisa hari dengan teman-teman yang rela menemani saya. haha! Ada Onyong, Hamdani, dan Ayu. Sebenarnya, hari itu Onyong mau pulang ke rumahnya, tapi saya tahan. hehe. kan gak seru, baru beberapa hari di Lombok udah jadi obat nyamuk untuk sejoli Hamdani dan Ayu. Bakal makin krik, krik dah.

Mungkin mereka kasihan melihat saya yang cuma bisa cengak cengok di sekretariat pasir putih. Akhirnya, mereka mengajak saya menghabiskan sore di pantai sejuk. Bukan karena pantainya sejuk, tapi memang namanya "Sejuk", mungkin karena masih banyak pohon. Pantai sejuk masih satu komplek dengan pantai Sire. Pantai Sire letaknya gak jauh dari Pemenang, Lombok Utara tempat saya mendekam selama 8 bulan, meskipun beda kecamatan, Kecamatan Tanjung. Dari pantai sejuk, kita bisa melihat gunung agung yang berdiri kokoh nun jauh disana.

Pantai, memang salah satu tempat rekreasi paling oke bersama keluarga. Sepanjang pantai, ada pojokan-pojokan keluarga yang sedang berbahagia, makan ikan bakar sambil bermain pasir, mandi dan menikmati sunset. Sedih? gak juga sih. Tapi mupeng! pengen bawa keluarga sendiri juga. haha! masa masih jadi penonton sih. Ihik!

Dari duduk santai dan diskusi ringan bersama tiga orang ini, saya menemukan satu hal yang sama, penyakit anak kosan atau yang jauh dari rumah itu sama aja, magh! haha.

Puas makan, duduk leyeh-leyeh,akhirnya pulang ke sekretariat pasir putih. Ternyata, saya tidak bisa menahan Onyong lebih lama, malam itu Onyong harus pulang ke rumah, Hamdani dan Ayu juga melipir ke rumah saudara-saudara yang lain.

Saya?

Menunggu malam di pasir putih. Haha!

Waktu itu, saya masih baru 2 hari di pasir putih. Belum tau cerita tentang bagaimana sekretariatnya yang memiliki hal-hal ganjil. Jadi, masih berani tidur sendirian. Tapi, tidak setelah ada cerita-cerita yang sebentar lagi akan saya ceritakan. huehehe!

bersambung..

catatan: jangan tanya mana fotonya, dokumentasi selama di Lombok sudah menjadi bangkai bersama hapenya, karena belajar berenang seminggu sebelum saya kembali ke Jakarta. Hiks!


Pagi Pasti Terkejar

banyak hal yang bisa dilakukan ketika stres melanda karena hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Salah satunya mendengar lagu-lagu kece badai, seperti lagu-lagu dari efek rumah kaca yang satu ini.  Gak tau kenapa, selalu melting kalau mendengar lagu-lagu efek rumah kaca.jiwa yang galau mendadak menari mengikuti irama detak-detik musiknya.

kemon sudah, kita bernyanyi!

Seperti Rahim Ibu-Efek Rumah Kaca

Dengarlah, nanyi suciku, bait risauku,
Rindu terpendamku, menyala dalam hayatku
Duka padamu, luka padaku, saling lebur

Menghalau awan mendung
Kemanusiaan itu seperti terang pagi
Merekahkan harapan , menepis kabut kelam

Niatkan, tinju terkepal
Pekik menebal
Terjang aral
Pagi pasti terkejar

Seandainya negeriku
serupa rahim ibu
merawat kehidupan
menguatkan yang rapuh

menjadi terang pagi
Menjelma rahim ibu

"I see human, but no humanity!" mungkin kira-kira ini inspirasinya ya,