Langkah #11 Susur jalanan, sungai dan hutan..!!
25 Maret 2015
Setelah
pingsan dari kemarin malam, akhirnya saya dan si kawan terbangun dengan
semangat 2015. Entah kenapa, semakin mendekati waktu pulang, semangat untuk
bangun pagi bertambah. Berharap waktu semakin segera berlalu. Seperti hari itu.
Saya dan si kawan adalah orang-orang yang udah buat kehebohan di pagi hari,
cekikikan gk jelas, seru diskusi tentang tanaman dan hewan. Mengelilingi kebun,
melihat matahari dengan anggun dan perlahan mulai menduduki singgasananya. Em,
memang, saya dan si kawan juga orang yang pertama pingsan di tempat tidur
kemarin. Hehe...
narsis bersama Mr. Vieng |
Puas melihat
kebun kopi, menerka-nerka apa yang terjadi dengan tanaman itu ketika krisis air
dan ketika musim basah. Waktunya untuk bersiap-siap menyusuri jalanan.
Yoshh..!! si kuda besi akan segera kembali bekerja membawa saya dan si kawan ke
tempat pemberhentian selanjutnya. Kawasan curug. Disini lebih di kenal dengan
kata Tad. Yup, Tad Lo, bagian dari provinsi Champasak yang terkenal dengan air
terjunnya.
Selama
perjalanan menuju Tad Lo, tetiba si kawan memberhentikan si kuda besi. Otomatis
saya bertanya, ternyata si kawan sedang memperkuat keseimbangan, karena angin
yang Subhanallah, kencang menerjang. Si kawan bilang, kan gak lucu kalo jatuh
karena angin. Huehehe.. okelah, kawan. ^^
Melawan
kencangnya angin yang luar biasa itu, memang butuh perjuangan. Apalagi
dikendarai oleh wanita bertubuh kecil. Saya saja sebagai penumpang, deg-degan
karena motor yang terkadang goyah, apalagi si pengemudi. Satu setengah jam
perjalanan, akhirnya kita nyampe di kawasan Tad Lo. Langsung cari penginapan,
dan mencuci baju. ^^v.
ini bentuk-bentuk penginapan di sekitar Tad Lo |
pemandangan di depan penginapan |
Penginapan di
sekitar Tad Lo ini unik. Yoi, ada hammock di setiap kamarnya. Ada teras yang
menghadap ke sungai dan air terjun. Indah, bayangan saya. Tapi kawan,
pemandangan ini mengingatkan saya pada kawasan belakang kampus, tempat saya
pernah menanam dulu. Warna air yang coklat, penduduk yang melakukan aktivitas
pagi-mencuci, mandi, atau hanya sekedar melakukan ritual pagi berlomba dengan
kerbau yang sedang berendam.
Hehe..*garuk-garuk kepala* di sisi sebelah kiri, ada air terjun yang
jatuh dengan malu-malu, dengan warna yang sama buteknya. Pertanyaan saya,
apakah ini karena musim kering? Tapi, bukankah kalau musim hujan jadi lebih
butek? *garuk-garuk kepala gak ngerti*
ini Tad Han |
Menunggu si
kawan mencuci baju, saya sambil merenung menikmati hammock yang bergerak pelan,
seolah-olah meninabobokan si bayi. Dan jika si kawan tidak heboh, mungkin saya
sudah tertidur, tidak peduli dengan banyak Tad disini, apalagi harus berjalan
kaki dengan cuaca yang mulai terik menggigit. Tapi, si kawan berkomentar, kalau
mau tidur ya di rumah aja. Oke, kawan, akhirnya kita cus pas jam 10 pagi.
Tad yang kering |
Melihat Tad
yang pertama, Tad Han mereka menyebutnya. Saya hampir tidak percaya jika para
bule barat begitu takjub melihat tetesan-tetesan air coklat yang jatuh berirama
rendah, perlahan, tanpa angin. Hanya batu-batu coklat besar yang menyusun
ruang. Karena ini mengingatkan saya pada air terjun di daerah Ciampea sana yang
hampir tidak ada pengunjung, karena masih ada air terjun yang lebih indah dari
itu.
Menyusuri
sungai. Menapak pada batu-batu besar yang kering tanpa air untuk melanjutkan
perjalan menuju Tad selanjutnya. Tad yang terkenal, Tad Lo. Tad yang tinggi,
dimana kata para bule kita bisa berenang di sekitarnya. Dan ini membuat saya
bertanya, apakah dengan warna yang sama atau lebih jernih? Dan tarraaaanngg..!!
pertanyaan terjawab. Yup. Warna yang sama, butek coklat. =.=a. Oke, jika saja
berwarna bening dan jernih, bisa jadi saya betah berlama-lama disana hanya
sekedar menikmati musik yang dimainkan air berkolaborasi dengan angin yang
mulai menyapa. Konon katanya, setiap sore ada 13 gajah yang akan mandi disana.
Eng..ing..ong..!! sayang, saya berada disana, siang hari, jadi? Lupakan tentang
gajah yang memang berserakan di sekitar Tad Lo.
ini sungai yang dilewati menuju Tad selanjutnya |
ini Tad Lo |
Jam
menunjukkan pukul 12 siang. Sayang jika hanya dua Tad ini yang di telusuri.
Masih ada satu Tad lagi yang menarik para bule. Tad Son. Kata para bule, itu
Tad paling tinggi yang pernah mereka lihat. Sejujurnya, saya tidak terlalu
banyak berharap, bisa jadi butek lagi. Tapi, saya tidak akan tau jika tidak
melihatnya. Jadi, saya dan si kawan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
menuju Tad Son. Mendengar referensi dari para bule yang mampir di Kopi Mr.
Vieng, perjalanan menuju Tad Son lebih kurang 2 jam, menyusuri sungai dan
desa-desa. Dan ini menarik. Karena kita hanya berjalan berdua tanpa guide,
hanya bermodal peta, dan sungai di tengah siang bolong, dan kiri kanan gak ada
pohon untuk bernaung dari gigitan matahari yang semakin sengit.
Selama perjalan
menyusuri sungai ada kejadian yang sukses buat terapi jantung dagi dig dug
seer..!! memang dasar saya dan si kawan ini rada eror, udah jelas-jelas ada
jalan setapak yang bisa kita lewati, tapi kita lebih memilih menuyusuri
batu-batu yang air sungainya mulai mengering. Dan mendengar suara bocah-bocah
bahagia bermain dengan air yang tersisa, melihat aktivitas pagi para ibu-ibu,
membuat kita mantap untuk menyusuri sungai itu, loncat dari batu satu ke batu
yang lain. Tapi, belum jauh kaki beranjak, hampir segerombolan ibu-ibu
meneriaki saya dan si kawan. Karena di teriaki begitu, antara sadar atau tidak,
apakah yang di teriaki itu benar-benar kita atau para bocah kecil yang main di
ujung sana. Lalu, kita lanjutkan lagi, lau teriak lagi. Dan kita bingung. Tiba-tiba,
air sungai menjadi begitu deras, lalu? Ayo segera minggir ke pinggir sungai.
Airnya mulai meluap..!!, setelah bengong beberapa detik di tengah-tengah
sungai, maka kita melewati batu-batu itu dengan kecepatan penuh, dan
fiuuhhh....!!! hampir saja. Sedetik kemudian, sungai kering itu penuh dengan
air dan berarus kencang. Gk bisa mikir, kalau tadi gak menghiraukan
teriakan-teriakan para ibu itu. Pertanyaan kembali muncul, darimanakah si air
itu muncul? Seperti air bah yang tiba-tiba menyerbu. *mikir keras*. Dan setelah
kita telususri, ternyata di atas sana ada sebuah perusahaan yang berhubungan
dengan air gitu. Kata gugel, ada perusahaan yang membuat bendungan air, yang
sesekali bendungannya di buka dengan jadwal yang tidak jelas. Hm, pantas saja
di setiap Tad itu ada peringatan, bahwa kalau mau mandi di sana harus hati-hati
dan memperhatikan arus sungai. Pertanyaan selanjutnya, itu bendungan buat apa
ya? Apa ada hubungannya dengan perusahaan raksasan yang bertuliskan “Hidropower
Plant” *mikir sambil searching lagi*
tanah yang gersang menuju Tad yang terakhir |
Puas dengan
terapi jantung dadakan, saya dan si kawan melanjutkan perjalan melalu jalan
yang sebenernya. Dan itu hanya sebentar, karena jiwa “salah arah” kembali. Dan
si kawan hampir saja menyerah, karena kita kehilangan jalan utama. Kita tersesat
ke kebun singkong, lanjut kebun semangka yang baru di tanam, dan lahan yang
gersang. Di tengah-tengah pencarian jalan utama, kita melihat air terjun
tinggi. Yuhuu..!! itu dia Tad Son. Tapi gan, ternyata perjalanan masih jauh.
Butuh waktu setengah jam perjalanan lagi untuk mencapai Tad Son, melewati
sungai, dan gongongan anjing dan melihat babi berkeliaran kayak kucing.
Desa terakhir
sebelum Tad Son, babi-babi semakin banyak berkeliaran. Dan tetiba ada
bapak-bapak yang menemani perjalanan kita dan ngajak bicara pakai bahasa Laos.
Kita? Hanya bisa cengok tak berdaya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan
menggarukkan kepala tidak mengerti dan berharap si bapak mengerti bahwa saya
dan si kawan bukan orang Laos dan tidak mengerti. tapi, si bapak keukeuh, tetap
ngajak bicara. Gaya bicara orang Laos ini seolah-olah mereka ngomel ini dan
itu, marah-marah. Tapi saya yakin bukan begitu maksudnya. Hehe..meskipun gak
ngerti mereka berbicara tentang apa.
Sampai di Tad
Son, saya kembali menggarukkan kepala. Yoi, masih sama dengan Tad sebelumnya.
Hanya saja si bule barat yang ditemukan kemarin itu benar. Yoi, Tad ini tad
tertinggi dari 2 tad sebelumnya. Meskipun masih sama buteknya, tapi kita
berhasil di buat terdiam, duduk manis di atas batu besar menikmati jatuhan air
itu dan mengamati kegiatan para bocah-bocah lokal yang dengan riang mencari
ikan meskipun seringkali hanya menangkap udara.
ini Tad Son |
Waktu sudah
menunjukkan pukul 2 siang. Waktunya beranjak, kembali ke tempat penginapan. Dan
kali ini kita benar-benar menyerah. Kembali ke jalan yang benar, jalan utama
*niatnya*. Karena takut kesasar lagi, sambil berharap ada kendaraan yang bisa
kita tumpangi menuju penginapan. Berjalan di aspal dengan matahari yang sedang
bergembira, membuat fatamorgana yang waww..!! dan harapan kendaraan lewat,
memang sekedar harapan. Mulai lelah dengan panasnya jalanan tanpa manusia itu,
di satu persimpangan, jalan lurus yang telah kita ambil kembali berbelok,
memasuki hutan. Dan lagi-lagi tersesat, kehilangan jalan setapak dan arah.
Hahaiiii...!! tapi boy, sekali melangkah, pantang mundur. Dengan keyakinan,
terus berjalan, dan eng ing ong..!! akhirnya kita bisa keluar dari hutan bambu
itu, dan kamu tau apa yang terjadi? Kita hanya menambah jarak. Karena kita
keluar di jalan raya yang gak jauh dari jalan raya tempat kita masuk hutan.
Wkakakkkk... tapi syukurlah, kita kembali menemukan jalan yang benar. Lalu
dengan kecepatan yang mulai gontai, akhirnya, selamat datang di penginapan, dan
hei kasur..!! aku sungguh merindukanmu.
senja di depan kamar |
Next!
langkah 12
langkah 12
0 komentar: