Langkah #10 Backpacker gembel, ngemper di Jalanan.
24 Maret 2015
Setelah
cengkok melihat kota mati di malam dan sepagi itu, keliling mencari tempat
penginapan sesuai budget yang pada akhirnya tidak ditemukan, maka 2 orang bule
barat dan 2 orang bule timur ini menyerah. Tidak ada pilihan selain ngemper di
depan toko yang mungkin saja penghuninya sudah terlelap. Ya, tubuh sudah minta
haknya. Tidak perlu gengsi, jadi hajar bleh..!! selamat tidur. Di temani dengan
gonggongan anjing penjaga yang seketika menjadi sahabat 4 bule gembel yang
terdampar di negeri yang sepi.
Melawan
nyamuk yang berpesta pora dengan mata terpejam itu sesuatu. Berjuang untuk
tertidur dengan menghalau nguing-nguing nyamuk yang sedikit “biadab”
menghabiskan sisa malam secepat kilat. Di ujung jalan, sudah terdengar
keributan pagi dari toko-toko yang akan segera buka. Di depan sana, sudah ada
aktivitas jogging dari si empunya toko yang di temani dengan anjing setia. Mau
tidak mau, mata harus segera terbuka, melek..!! sebentar lagi matahari akan naik
ke singgsananya. Si bule barat mengajak si bule timur untuk kembali berkeliling
kota. Bukan mencari penginapan, tapi untuk menerima kehangatan matahari di
jembatan yang menghubungkan dua sungai. Menikmati semilir angin, kesunyian
pagi, dan kedamaian dalam kota yang mulai terjaga.
seorang nelayan mulai menyusuri sungai di pagi buta |
Puas menerima
sinar matahari, akhirnya si bule barat dan si bule timur harus berpisah. Tujuan
kita memang sama, Bolavalen. Tapi cara kita berbeda. Si bule barat memilih
untuk mengisi full energi dengan mencari penginapan, sedang 2 orang bule timur
yang berbadan kecil memilih untuk segera melanjutkan perjalanan menuju
Bolavalen itu. dan, say goodbye daghdagh dan peluk cium.
Mengelilingi Bolavalen
Setelah
berpisah, yang dilakukan si bule timur adalah cari rumah makan..!! dan
taarraanng..!! suatu kenikmatan mendapatkan restoran India Muslim. Itu artinya,
puas makan tanpa takut ini itu yang selama ini mengganggu kenikmatan makan. Dan
voilaa...!! sesuatu melihat nasi goreng dengan porsi kuli yang sisanya bisa
jadi bekal sampai malam ini. Huehehehh...
Setelah
energi terisi, meskipun belum full karena mata masih kiyip-kiyip, maka kaki
melangkahkan kaki ke tempat penyewaan motor. Yoi, kita akan mengelilingi
Bolavalen itu dengan motor. Hehe.. dan cuusss...!!! seketika energi yang
setengah kembali terisi full, menikmati kota yang gersang dengan motor.
Wat Phu |
Berbeda
dengan Vietnam yang hijau, sisi kiri dan kanan mengalir sungai-sungai seksi. Di
sini, salah satu kota Laos yang dikunjungi sangat gersang. Sisi kiri dan kanan
yang kau temui hanya hutan-hutan mati. Benar-benar kering. Cuma bisa berpikir
bagaimana masyarakat bisa bertahan dengan keadaan seperti ini, padahal pohon
saja mati. Ternyata eh ternyata, untuk kehidupan mereka, mereka masih bisa
mencari air di sungai-sungai yang juga mulai kering. Warna airnya tidak bening,jauh
dari air yang seharusnya. Warna airnya coklat, dan perlu penyaringan beberapa
kali agar bisa diminum. Dan saran saya, jangan sekali-sekali mencuci pakaian
berwarna putih jika tidak ingin pakaianmu berubah warna menjadi coklat.
tangga menuju candi |
Hari masih panjang. Saya dan si kawan tidak ingin
melewatkan perjalanan yang menyenangkan ini hanya duduk diatas motor. Meskipun
kota ini gersang menantang. Sebelum menikmati Bolavalen, ada peninggalan
sejarah di kota ini, Wat Phu, candi dari kebudayaan Hindu. Mungkin waktu yang
kurang pas atau memang begitu kondisinya, di sekitar candipun, gak kalah terik
dan gersang. Cuma ada bunga sejenis bunga kamboja yang sedang mekar memayungi
tangga-tangga menuju patung besar di atas sana.
ukiran gajah |
Wat Phu, atau
Temple Mountain atau candi diatas gunung ini merupakan candi peninggalan dari
agama Hindu yang didedikasikan buat Dewa Shiva. Yang menarik disini adalah ada
aliran sungai mekong di tengah halaman komplek candinya, kalau kamu lagi
beruntung maka kamu akan bisa melihat masyarakat sekitar sedang mandiin gajah
di sungai itu.
Di atas,
tempat candi berdiri kokoh, kita dapat melihat kawasan candi yang luasnya lebih
kurang 5 Ha. Tapi hanya tinggal batu-batu dan gersangnya. Pergi ke sebelah
utara kita akan menemukan batu dengan jejak kaki buaya, gajah, ukiran-ukiran
dewa-dewa Hindu dan ada juga jejak kaki Buddha. Ini menunjukkan bahwa tiap
agama bisa hidup berdampingan. Ini kan peninggalan Hindu, tapi ada jejak Buddha.
Dan ternyata aman damai sentosa loh. *Cuma
persepsi dari kacamatakudasaya*
ada air yang mengalir entah dari mana. mungkin dari atas gunung sana |
dari atas melihat komplek candi |
Puas keliling
dan menikmati angin kering di Wat Phu, saya dan si kawan melanjutkan perjalanan
menuju Tad Pasuan. Tad itu berarti air terjun. Konon ceritanya, Laos terkenal di kalangan
wisatawan asing dengan air terjunnya. Tapi, mungkin dengan waktu yang tepat.
Karena, ketika saya berkeliling di Laos, referensi para bule yang katanya Laos
indah dengan air gemericiknya tidak terbukti. Iya, karena saat itu adalah musim
kering. Jadi air terjunnya hanya seuprit, dan rebutan untuk dapat menikmatinya
dengan para biksu yang juga ingin menyelaraskan hidup dengan alam. Alhasil,
hanya sebentar kita mengelilingi air terjun yang ternyata disana tinggal para
penduduk “pedalaman” yang menjaga budayanya. Mungkin di Indonesia semacam suku
Baduy lah. Tidak ada listrik, tidak ada teknologi, hanya ada manusia, hewan dan
tumbuhan. Bagaimana mereka hidup? Dari Hutan. Selain itu para ibu-ibu membuat
kain tenunan yang dibeli oleh para wisatawan. Hanya ada beberapa rumah disana.
Tapi, damai.
ini rumah di sekitar Tad Pasuan, ada seorang ibu yang sedang memainkan musik |
deretan bambu menuju air terjun |
Ngopi, di Kebun Kopi
Masih hari
itu, saya dan si kawan kembali memacu si kuda besi ke tujuan terakhir di hari
itu. Kebun kopi..!! Mr. Vieng Katu’s Homestay. Nah, ini adalah kebun kopi yang
menyediakan tempat penginapan bagi para wisatawan asing yang ingin beristirahat
atau hanya sekedar ngopi-ngopi di kebun kopi langsung setelah dari pakse menuju
Tad Lo atau sebaliknya.
mari ngopi di temani sepirig pisang dan semangkok kacang tanah |
Tempat ini
tidak mewah. Bisa dikatakan sangat sederhana. Dimana wisatawan berbagi kamar
dengan wisatawan asing yang hanya dibatasi oleh kelambu. Rumah ini dikelillingi
oleh pohon-pohon kopi yang sedang mulai berbunga. Kira-kira luas kebun kopi
milik Mr. Vieng ini 5 Ha yang ia kelola bersama istri dan beberapa temannya. Mr.
Vieng ini contoh petani merdeka yang saya temui di Laos. Yes..!! dengan berani
Mr. Vieng mengatakan bahwa kopi-kopi dari kebunnya tidak pernah di jual ke
tengkulak. Mr. Vieng sendiri yang mengelolanya hingga sampai ditangan konsumen.
Katanya, biar sedikit yang terjual tapi kualitasnya dapat dijamin sendiri oleh
Mr. Vieng. yoi, Mr. Vieng mengelola dari hulu sampai hilir si kopi ini. Jadi,
jangan lewatkan minum kopi yang fresh di kebun koip Mr. Vieng. dan jangan harap
kamu bisa menemukan kopi susu di sini. Hehe.. ^^
rumah Mr. Vieng yang terkenal dan jadi homestay |
ini kebunnya mr. Vieng |
kegiatan |
Setelah bincang-bincang
puas sambil ngopi, apalagi yang bisa dilakukan setelah malam tiba? Sepertinya gak
ada yang lebih menyenangkan selain tidur diatas kasur yang empuk apalagi
setelah dua hari tidur di tempat yang tidak jelas. Huehehe.. selamat malam..!!!
Next!
Langkah 11
Next!
Langkah 11
0 komentar: