Menunggu Matahari

14.59 ipeh the pooh 0 Comments

pagi sudah menjelang, mungkin saat kereta besi itu berhenti di stasiun tegal. hanya berselang 2 jam, kereta itu benar-benar berhenti tak bergerak, itu artinya saya benar-benar harus kembali membuka mata, menyusun rencana, kemana kaki ini melangkah. sendiri, terdampar di lautan manusia yang mungkin punya tujuan sama, menunggu matahari.

langit masih gelap. hanya satu dua bintang yang malu-malu bersinar. kaki terus melangkah mencari tempat untuk merenung dan berpikir, apa yang harus dilakukan selama menunggu matahari, masih ada waktu sekitar 3 jam sebelum matahari benar-benar menyibak langit malam yang sendu.

tempat ini tidak seperti yang dibayangkan. menyeramkan yang dipenuhi preman-preman terminal menghabiskan malam dengan segelas kopi. ada banyak teman senasib yang sama, menunggu, mengutak atik alat canggih, atau hanya sekedar meluruskan badan dalam dinginnya lantai mushalla.

sempat berpikir untuk melanjutkan perjalanan menuju kota hujan saat ini. keberanian itu datang karena ramainya tempat ini oleh muntahan si kereta besi. mungkin saja dari sekian ratusan manusia itu ada satu dua orang yang memiliki tujuan sama, kota hujan.

setelah meregangkan badan, membulatkan tekad, maka kaki ini dengan mantap keluar dari keramaian stasiun menuju keramain terminal. ingatan itu sempat kembali, ketika mengelilingi jakarta untuk mencari angkutan yang bisa membawa diri ke bogor karena ketinggalan kereta keberangkatan terakhir. salah satunya, dengan mendatangi pasar senen.

langkah yang mantap, menjadi lunglai. ketika melihat terminal itu mulai sepi, banyak mata-mata yang melihat, kemana kaki ini melangkah. ditambah dengan komentar seorang bapak yang tidak meridhoi saya berangkat saat itu juga menuju tempat selanjutnya. alhasil, duduk manis menunggu matahari di sekitar mereka-mereka yang beristirahat sejenak mungkin pilihan tepat.

satu jam sudah berlalu sejak kereta besi itu benar-benar berhenti. tidak sedikit orang-orang menawari ojek sebagai alternatif menuju tempat yang dituju. tapi, ojek bukan solusi, karena tujuan saya masih beberapa jam dari sini. yang hanya ada dua kemungkinan, bapak ojek tidak mau atau harus dibayar dengan harga selangit jika di bandingkan bersabar sedikit menunggu matahari.

*menghela nafas*
matahari berjalan dengan sangat pelan. masih butuh waktu sekitar satu dua jam lagi untuk melihat secercah harapan di langit kota yang tidak pernah tidur


seru menggambar
otak atik alat canggih, bengong, tiduran
duduk manis disini, membuat saya terngiang kalimat seorang teman yang tidak setuju dengan bangsa Indonesia, bangsa pemalas. yoi, diujung sana, saya melihat sekumpulan pria dewasa yang sedang bekerja membangun palang-palang gerbang baru. melihat mereka menggambar dan bekerja, merelakan diri untuk mengubah jam biologisnya demi bertahan hidup di panggung yang semakin mengerikan.

di sepanjang jalan, ada satu dua ibu-ibu yang terus berkeliling, menjajakan makanan ke para manusia yang sedang kelelahan. tidak berhenti meskipun tidak sedikit yang menggelengkan kepala. tidak kecewa kepada mereka yang bahkan melihatpun tidak. yoi, ibu-ibu itu memiliki sikap tangguh luar biasa untuk bertahan hidup. bukan hanya untuk dirinya, mungkin saja ada malaikat-malaikat mungil yang setiap malam menunggu dan berdoa atas keselamatan si ibu melawan kerasnya malam.

keramahtamahan Indonesia. saya masih percaya itu. tidak sedikit orang-orang berganti di sebelah saya. walau hanya berbasa basi, tapi itu menyenangkan. hal itu menunjukkan kepada saya, manusia tetap memiliki sebongkah daging yang berisi kebaikan dan ketulusan. 




matahari, masih berjalan dengan pelan. dan tidak ada yang dapat saya lakukan selain menunggu matahari, sambil menikmati coklat yang tersisa. 





02.00, stasiun pasar senen.
minggu, 22 Februari 2015


*Perjalanan kali ini sudah selesai dengan segudang cerita*

You Might Also Like

0 komentar: