Pencegahan Korupsi itu Tugas Kita!

09.50 ipeh the pooh 0 Comments

Tahun ini, Riau dipilih menjadi tuan rumah untuk memperingati Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2016. Ini merupakan salah satu bentuk komitmen bagi Riau dalam membenahi diri dan turut berpartispasi dalam setiap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga provinsi Riau dapat menjadi provinsi yang bersih dari korupsi melalui nilai-nilai profesional, religius dan integritas.

Data dari Transparency International (TI) pada tahun 2015  menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) provinsi Riau masih sangat rendah dengan skor 42, jauh dibawah dibandingkan kota Banjarmasin (68) dan Surabaya (65). IPK Riau yang rendah ini tidak dapat dielakkan karena data KPK (2015) menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir tiga Gubernur Riau dan sejumlah anggota DPRD terjerat kasus korupsi sehingga KPK memasukkan Riau sebagai daerah rawan korupsi.  Hal ini bukanlah suatu prestasi yang cukup membanggakan bagi Riau, tetapi sebagai pukulan telak yang seharusnya dapat menyadarkan seluruh elemen pemerintahan, pejabat dan masyarakat Riau untuk bersama-bersama menjadikan Riau sebagai provinsi yang bersih dari korupsi.

Korupsi bukanlah kasus yang baru muncul ke permukaan, tapi jauh sebelum zaman kemerdekaan korupsi sudah ada dan mulai membudaya. Kita dapat melihat dari sejarah kerajaan-kerajaan zaman dulu (Singosari, Majapahit, Sriwijaya, Banten) yang melakukan perebutan kekuasaan untuk mendapatkan tahta tertinggi. Kebiaaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil  sudah turun temurun dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda untuk memperkaya para penguasa dan penjajah sehingga terjadilah perlawanan-perlawanan rakyat untuk memperjuangkan haknya yang dipimpin oleh para pejuang-pejuang terdahulu berharap korupsi dapat diselesaikan. Tetapi, faktanya korupsi semakin merajalela.

Setelah zaman kemerdekaan, harapan budaya korupsi hilang seiring dengan berjalannya pemerintahan orde lama ternyata hanya tinggal harapan belaka. Badan-badan hukum yang dibentuk untuk menangani kasus korupsi kembali dilemahkan oleh orang-orang yang berdiri di badan hukum tersebut, hingga pemberantasan korupsi mengalami stagnasi. Tidak jauh berbeda setelah memasuki orde baru, tekad memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya juga hanya tinggal pidato presiden.  Badan yang dibentuk oleh presiden untuk memberantas korupsi (Operasi Tertib) juga hilang sama sekali ditiup angin. Sampailah pada era reformasi dimana korupsi seperti virus ganas yang menyebar dengan cepat. Jika di era orde baru korupsi hanya dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada era reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terserang virus membahayakan tersebut, korupsi!. Bahkan dalam Badan pemberantas korupsi sekalipun, korupsi tetap ditemukan. Saat ini, korupsi seakan menjadi budaya salah yang dibenarkan dan diakui sebagai bentuk kewajaran dalam pemerintahan.

Pertanyaannya adalah mengapa korupsi menjadi suatu hal yang wajar, menjadi budaya turun temurun yang dapat dimaklumi dan dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya kalangan elit politik dan aparat pemerintahan, tetapi kelas masyarakat yang paling bawah juga banyak yang melakukan korupsi. Penindasan terhadap makhluk yang tidak berdaya. Menggunakan hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi jika mengacu pada definisi dari Transparency International adalah "the misuse of entrusted power for private benefit (penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan oleh [publik] untuk kepentingan pribadi). Jika mengacu pada Undang-Undang no. 31 tahun 1999, "korupsi adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri sebagai orang lain atau suatu koporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian". Sederhananya, korupsi adalah pengambilan hak orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri. Dengan melihat perspektif ini, maka dapat ditarik kesimpulan seakan-akan korupsi "hanya" merupakan masalah "Individual Moral Hazard" (moral Individu yang sudah rusak) yang kemudian ditangani dengan pendekatan hukum. Padahal, dibalik Individual Moral Hazard tersebut, kita luput pada sistem yang memberikan peluang untuk melakukan korupsi.

Berkaca pada sejarah yang telah dijelaskan, bahwa dari zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, pencegahan dan pemberantasan korupsi masih belum tuntas. Pemain-pemain korupsi terus berganti, tetapi kasus korupsi tidak pernah berhenti karena ternyata sistem yang dibuat selalu mati. Bagaimana kita bisa mengharapkan korupsi ini tuntas, jika ternyata korupsi telah terintegrasi kedalam sebuah sistem pemerintahan. Korupsi telah mendarah daging pada sistem pemerintahan. Tidak hanya moral individu yang patut kita pertanyakan, tetapi juga moral sistem yang telah dan sedang dibentuk. Toh, ternyata sistem pemerintahan dan birokrasi banyak memberikan peluang untuk melakukan korupsi. Pada akhirnya, gerakan anti korupsi hanya menjadi gerakan mengejar koruptor yang beranak pinak lalu menjebloskannya ke penjara. Bukan membidik sistemnya yang cacat. Kelemahan utama sistem ini terletak pada lingkungan hukum itu sendiri, aparatur dan pejabat atau perangkat perundangan yang masih memberikan celah bagi korupsi untuk terus menggerogoti tubuh pemerintahan. Tidak sedikit kita temui bahwa pemerintahan membentuk badan-badan hukum untuk memberantas korupsi, tetapi justru dari dalam badan-badan itu pula kita temui orang-orang yang melakukan korupsi.

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan sehingga korupsi benar-benar bisa tercerabut dari akarnya? Bagaimana caranya agar korupsi benar-benar hilang dari badan pemerintahan? Padahal semua usaha telah dilakukan. Badan-badan pemerintahan yang fokus pada pemberantasan korupsi terus diupayakan, tetapi mengapa masalah korupsi seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus? Apakah pencegahan korupsi itu hanya tugas lembaga-lembaga anti korupsi? Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang harus kita lakukan?

Menurut saya, pencegahan korupsi dalam sistem pemerintahan bukan hanya tugas lembaga anti korupsi, tetapi itu adalah tugas kita. Ada beberapa strategi yang dapat kita lakukan untuk mencegah korupsi. Strategi yang utama adalah pembenahan diri sendiri, dengan mengetahui secara baik hak dan kewajiban sebagai warga negara, profesional, atau sebagai pejabat negara. Namun, tidak cukup dengan hanya melakukan pembenahan diri, karena kita hidup dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Oleh karena itu, kita juga perlu melakukan pembenahan dalam sistem pemerintahan. Strategi yang dapat diupayakan dalam pembenahan sistem pemerintahan dapat terfokus pada komitmen para aparatur negara, hukum yang nyata, dan adminsitrasi yang efisien.

Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penegakan hukum tanpa komitmen dan kesadaran dari semua pihak baik pemerintah, pejabat dan elit politik, masyarakat bahkan diri sendiri. Komitmen seluruh aparatur negara dalam menjalankan jabatan  adalah kunci utama dan penting dalam memberantas dan mencegah korupsi. Pemerintah harus memiliki "Strong political will" yaitu kekuatan politik berpihak dan berkomitmen untuk memberantas korupsi yang didukung oleh masyarakat. Strategi ini dapat memberikan bukti yang nyata dalam mencegah dan memberantas korupsi jika dilakukan secara konsisten dan terus menerus oleh pemerintah dan pengawasan oleh masyarakat. Tetapi jika hanya mengandalkan komitmen dan kesadaran tersebut pun tidak akan cukup, karena hukum tetap diperlukan untuk menegaskan hitam dan putih, memberikan sanksi bagi semua yang bersalah tanpa tawar menawar.

Administrasi yang efisien salah satu strategi kecil yang mungkin dapat dilakukan. Karena sebagaimana yang kita ketahui, saat ini birokrasi di Indonesia dan di Riau sendiri masih "bertele-tele" dan panjang, sehingga memungkinkan sekali bagi korupsi menyebarkan virusnya. Ribetnya birokrasi pemerintahan dalam menyelesaikan suatu masalah, banyak orang yang melakukan korupsi yang "tidak sengaja" karena "malas" berurusan dengan birokrasi tersebut. Dengan mereformasi birokrasi menjadi layanan satu pintu dan regulasi yang ketat, maka aparatur negara dan masyarakat dapat saling mengontrol dan mengawasi birokrasi yang terjadi dan dapat mencegah terjadinya korupsi.

Hal terakhir yang dapat dilakukan untuk mencegah korupsi adalah mengembalikan lagi tujuan dari jabatan-jabatan yang diberikan kepada para pejabat tersebut pada tujuan semula, bahwa pejabat negara bertugas sebagai abdi negara untuk menyejahterakan rakyat bukan memperkaya diri. Banyak para pejabat dan elit politik yang berusaha menduduki jabatan di pemerintahan hanya untuk memupuk kekayaan, bukan lagi berdasarkan pengabdian untuk negara sehingga korupsi kerap terjadi. Seharusnya yang memegang pemerintahan adalah mereka yang sudah mapan secara finansial dan baik dalam berperilaku, serta memiliki integrtitas yang tinggi terhadap tugas dan jabatannya, sehingga baginya jabatan bukanlah pekerjaan yang dilakukan sebagai sumber nafkah semata tetapi pengabdian untuk negara.

Dengan menyadari hak dan kewajiban diri sendiri sebagai masyarakat dan aparat pemerintah, penegakan hukum yang tegas, serta tekad dan komitmen, menjadi daerah yang bersih dari korupsi bukan lagi hanya wacana. Strategi ini bukan hal yang mustahil untuk dilakukan, hanya saja saya, kamu, dan kita mau secara bersama melakukan pengontrolan dan pengawasan terhadap apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan sistem pemerintahannya.Mencegah dan memberantas korupsi tidak hanya tugas dari lembaga anti korupsi, tetapi juga tugasku, tugasmu dan tugas kita yang harus kita awasi secara bersama-sama. Memang bukan hal yang mudah untuk memberantas dan mencegah korupsi yang sudah mendarah daging dalam sistem pemerintahan, tapi bukan juga hal yang mustahil jika kita semua memiliki tekad dan komitmen yang sama, mencegah dan memberantas korupsi hingga akar-akarnya. Ayo kita cegah korupsi!

Melalui peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) 2016, dengan sendirinya Riau memiliki PR dan tanggungjawab yang besar untuk membuktikan pada dunia bahwa Riau mampu untuk keluar dari daerah "rawan korupsi" yang disematkan oleh KPK. Ayo, Riau bergerak untuk Indonesia Tangguh dengan memberikan komitmen untuk menjadi provinsi yang mampu mencegah korupsi di lingkungan aparat pemerintahan dan masyarakatnya.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru. 


Sumber Tulisan :
1. Korupsi dari Kerajaan Nusantara hingga Reformasi. Iwan Santosa. 2015
2. www. kpk.go.id
3. Survei Persepsi Korupsi 2015. Transparency Internasional. 2015. [www.ti.or.id]
4. Melihat Pemberantasan Korupsi di Singapura dan Hongkong. Kris R Mada. 2015
5.Lucy Djani: Pemberantasan Korupsi Tidak Cukup Dengan Penegakan Hukum. Coen Husain Pontoh, Luky Djani. 2009. [Indoprogress.com]








You Might Also Like

0 komentar: